a. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang berpenduduk sangat besar tapi dengan kualitas penduduk yang sangat jauh dari yang diharapkan. Hampir di semua bidang, Indonesia kalah jauh meski itu dibandingkan dengan negara yang sama-sama terletak di Asia Tenggara. Kemampuan bidang Matematika dan Sains Indonesia hanya berada di peringkat 109 dari 174 negara yang disurvey pada tahun 2000. (http://diniirawatitag.blogger.com)
Selain kemampuan Matematika dan Sains Indonesia yang kalah jauh dengan negara lain, kemampuan baca-tulis anak-anak Indonesia juga sangat jauh ketinggalan jika dibandingkan dengan negara lain. Semangat untuk maju rakyat Indonesia juga masih rendah. Rakyat Indonesia masih suka bermalas-malasan dan berpangku tangan. Belum lagi mental KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)nya, sangat-sangat membuat yang melihatnya geleng-geleng kepala. Mulai dari tingkat bawah sampai tingkat atas, dari rakyat biasa sampai pejabat negara, semua mempraktekkannya.
Mental-mental seperti ini haruslah dihilangkan jika Indonesia tidak ingin semakin ketinggalan dengan negara-negara lainnya. Pembentukan karakter yang buruk harus segera ditinggalkan, diganti dengan pembentukan karakter yang baik melalui ‘sekolah imajinasi’. Ya, sekolah imajinasi adalah solusi cerdas untuk menghilangkan karakter buruk yang sudah menjadi stigma Indonesia saat ini. Lewat sekolah imajinasi akan terbentuklah sebuah karakter bangsa yang bermental baja, hingga mudah untuk mengejar ketertinggalan dari negara lainnya karena dalam sekolah imajinasi inilah – nilai-nilai positif suatu bangsa – bisa ditanamkan lewat dongeng yang terkurikulum: dongeng-dongeng yang mengandung pesan moral yang tinggi, yang dalam istilah David McClelland dikenal sebagai the need for achievement – n-Ach.
Dongeng yang diceritakan pada masa kanak-kanak akan terus membekas. Hal ini cukup beralasan karena anak adalah pendengar yang baik, apalagi ketika mereka masih di bawah usia 15 tahun. Bisa dikatakan, dongeng dengan apapun yang diberikan akan membuat anak terpesona bahkan terpengaruh hingga mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi kalau dongeng itu mengandung nilai n-Ach yang tinggi.
b. Dongeng
Hernowo dalam bukunya Bu Slim dan Pak Bil: Memimpikan Sekolah Imajinasi mengungkapkan bahwa sebagian besar dongeng mengikuti format yang sama dengan cerita dan, meskipun bisa jadi bersifat nyata, dongeng lebih sering bersifat fiktif. Dongeng memiliki format yang memberi kebebasan yang cukup besar dalam berimajinasi dan berkreativitas. Dongeng berisi cerita yang menembus batas-batas realitas, menentang hukum-hukum logika, dan membawa kita menuju dunia yang di sana langit berwarna ungu, dan orang-orang berada dalam keadaan sempurna. Dongeng mampu menerbangkan kita ke dunia antah-berantah, seperti dongeng dalam Alice in Wonderland atau Gulliver’s Travels (2005: 17)
Sementara itu, menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, dongeng ialah cerita yang tidak benar-benar terjadi. Ia adalah cerita rekaan yang kebenarannya belum dapat dipastikan. Hampir sama dengan itu, James Dananjaja dalam Mendongeng sebagai Metode Pembelajaran (http://lidahtinta.com) mengatakan bahwa dongeng termasuk jenis cerita pendek kolektif kesastraan lama dan dianggap tidak benar-benar terjadi. Dongeng hanya diceritakan untuk menghibur.
David McClelland dalam Soenardi mengatakan bahwa dongeng yang baik adalah dongeng yang mempunyai nilai n-Ach yang tinggi, yaitu: optimisme yang tinggi, keberanian untuk mengubah nasib, dan tidak cepat menyerah. Dongeng-dongeng yang mengandung nilai n-Ach yang tinggi juga membuat suatu negara mengalami pertumbuhan yang tinggi dalam masa 25 tahun mendatang. (Soenardi, 2003: 100)
Dalam penelitiannya itu, McClelland mengambil sampel Inggris dan Spanyol, dua negara raksasa di awal abad ke 16. Dalam perkembangan selanjutnya, Inggris menjadi negara maju, sementara Spanyol, sebaliknya, mengalami kemunduran yang mengenaskan. Mengapa terjadi begitu? Apa sebab yang mendasarinya?
Pertanyaan ini sangat mengusik McClelland. Seluruh semak telah disibak, rumput-rumput juga telah dipangkas, tetapi McClelland tidak menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Akhirnya dia melirik pada satu hal yang kurang diperhatikan orang: dongeng. Kelihatannya, kata McClelland, dongeng-dongeng yang berkembang di Inggris pada awal abad 16 mengandung semacam “virus” yang menyebabkan pendengarnya dijangkiti penyakit “butuh berprestasi”, the need for achievement—yang kemudian disimbolkan sebagai n-Ach yang sangat terkenal itu. Virus n-Ach itu, menurut McClelland, meliputi tiga unsur, yakni: optimisme yang tinggi, keberanian untuk mengubah nasib, dan sikap tidak gampang menyerah.
Tiga unsur ini tidak ada dalam dongeng-dongeng Spanyol di abad 16; muatan-muatannya lebih banyak meninabobokkan, “virus” n-Ach itu tidak ada sedikit pun. Dalam buku, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, karya Arief Budiman (Gramedia, 1995), dijelaskan lebih lanjut bahwa untuk meyakinkan dirinya atas penemuan tersebut, McClelland melakukan riset sejarah.
Ia mengumpulkan dokumen-dokumen sastra dari zaman Yunani kuno seperti puisi, naskah drama, pidato penguburan, surat para nahkoda kapal, kisah epik, dan lain sebagainya. Karya-karya tersebut dinilai oleh para ahli yang netral, apakah di dalamnya mengandung semangat n-Ach yang tinggi, atau sebaliknya, kurang, atau bahkan tidak ada sama sekali.
McClelland juga mengumpulkan lebih dari 1300 cerita/dongeng dari pelbagai negara, dari era 1925-1950an. Setelah dikaji dan diselidiki, hasilnya menunjukkan bahwa cerita-cerita anak yang mengandung nilai n-Ach yang tinggi pada suatu negeri, selalu diikuti dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula di negeri itu dalam kurun waktu 25 tahun kemudian. (http://blogspa.wordpress.com)
C. Fungsi Cerita bagi Pendidikan Anak-Anak
LPP Insantama dalam bukunya Menjadi Pendidik Profesional mengungkapkan bahwa cerita sangat bermanfaat sekali bagi anak-anak. Manfaat cerita itu antara lain:
1. sebagai sarana kontak batin antara pendidik dengan anak didik
2. sebagai media untuk menyampaiakan pesan-pesan moral atau ajaran-ajaran tertentu
3. sebagai metode untuk memberikan bekal kepada anak didik agar mampu melakukan proses identifikasi diri maupun identifikasi perbuatan
4. sebagai sarana pendidikan emosi anak
5. sebagai sarana pendidikan fantasi/imajinasi/kreativitas anak didik
6. sebagai sarana pendidikan bahasa anak didik
7. sebagai sarana pendidikan daya pikir anak didik
8. sebagai sarana untuk memperkaya pengalaman batin dan khasanah pengetahuan anah didik
9. sebagai salah satu metode untuk memberikan terapi pada anak-anak yang mengalami masalah psikologis
10. sebagai sarana hiburan dan pencegah kejenuhan (100)
D. DONGENG DAN PERANANNYA DALAM MEMBENTUK KARAKTER BANGSA: Sebuah Studi Pustaka dan Kuesioner Sederhana untuk Membentuk Generasi Penerus Bangsa yang Mempunyai Nilai N-Ach Tinggi
1.
Laporan Kegiatan yang Dilakukan
Untuk membuktikan peranan dongeng dalam kehidupan seseorang, penulis, selain menggunakan studi kepustakaan, juga menggunakan kuesioner sederhana. Penulis menyebar 50 kuesioner tapi yang kembali 43, lima kuesioner tidak kembali, satu kuesioner tidak menjawab pertanyaan dengan lengkap dan satu kuesioner lain tidak menjawab pertanyaan dengan sebenarnya. Kuesioner ini penulis berikan kepada responden dengan rentang usia 15 tahun – 40 tahun, dengan jumlah gender: 67,44 % atau sebanyak 29 orang adalah perempuan, 32,56% atau sebanyak 14 orang adalah laki-laki, rentang pendidikan dari SMP sampai S I perguruan tinggi dan dari berbagai bidang pekerjaan.
Berikut ini adalah beberapa pertanyaan yang diberikan dalam kuesioner sederhana yang diberikan pada responden:
1. Nama :
2. Usia :
3. Pendidikan :
4. Pekerjaan :
5. Alamat :
6. No HP/Telepon :
7. Dongeng favorit (masih diingat hingga sekarang) :
8. Alasan :
9. Pengaruh yang dirasakan sampai sekarang :
2. Laporan Hasil
Berikut ini adalah hasil dari kuesioner yang diberikan. Berdasarkan jawaban yang diberikan masing-masing responden bisa disimpulkan bahwa dongeng yang berbeda mempunyai pengaruh yang berbeda pula dalam diri seseorang hingga mereka dewasa bahkan punya anak.
Berikut ini penulis sajikan 20 pengaruh dongeng bagi para responden yang mengisi kuesioner yang penulis berikan, yaitu:
1. selalu berhati-hati dalam tingkah laku terutama kepada orang tua/ibu (judul dongeng:
Malin Kundang)
2. membuat saya tidak takut berimajinasi, dan menetapkan target-target yang seharusnya tidak mungkin dimiliki … ternyata semua bisa kalau kita menginginkannya (judul dongeng:
Aladin)
3. berkarakter kuat (judul dongeng:
Pak Pandir Kelana 1 Pukul 7 Mati)
4. ingin bertemu atau membayangkan dapat bertemu dengan pangeran (judul dongeng:
Cinderela)
5. memberi semangat dalam menghadapai persoalan hidup (judul dongeng:
Cinderela)
6. menginspirasi untuk selalu menghormati orang tua, khususnya ibu dan jangan pernah menyakiti hatinya (judul dongeng:
Malin Kundang)
7. prinsip-prinsip untuk konsisten pada komitmen yang dimiliki (judul dongeng:
Keledai, Orang Tua, dan Seorang Anaknya)
8. bagaimanapun ibu, adalah ibu yang harus, wajib dan harus dihormati,
however she is (judul dongeng:
Sangkuriang)
9. kalau mendengar ulang cerita tersebut atau diminta menceritakan kembali, seperti menjadi salah satu tokoh di dalamnya dan seperti pernah hidup di massanya. Banyak juga karakter tokoh yang ada dalam cerita Ramayana menjadi inspirasi tersendiri (judul dongeng: Ramayana)
10. dalam mencintai seseorang itu haruslah apa adanya. Kita harus bisa mencintai kelebihan seseorang begitu pula kerugiannya (judul dongeng: Cinderela)
11. memberi banyak inspirasi dalam hidup (judul dongeng: Snow White)
12. membuat saya harus berhati-hati dalam menjalankan kehidupan, dalam kondisi sesulit apapun kita harus bisa menghadapinya (judul dongeng: Abu Nawas)
13. dapat dijadikan motivasi dan semangat hidup (judul dongeng: Si Kancil)
14. menjadi orang yang bisa merasakan bukan orang yang merasa bisa (judul dongeng: Bawang Merah Bawang Putih)
15. jadi putri baik hati (judul dongeng: Cinderala)
16. harus selalu percaya diri (judul dongeng: Beauty and the Beast)
17. kita tidak boleh berbohong dan ngerjain orang (judul dongeng:
Kaki Edor-Nini Edor)
18. lebih berpikir cerdas (judul dongeng:
Si Kancil)
19. Berkhayal menemukan pangeran, jadi harus menjadi orang yang baik untuk mendapatkan pangeran (judul dongeng: Ande Ande Lumut)
20. Takut menyepelekan orang yang buruk rupanya dan buruk fisiknya (judul dongeng: Baruklinting)
3. Analisa Hasil
Dari hasil di atas, bisa disimpulkan bahwa dongeng (sebenarnya tidak hanya dongeng tapi juga cerita anak, kisah para nabi, dan kisah-kisah orang seperti yang diceritakan dalam kitab suci) yang dibaca ketika masih kanak-kanak atau yang diceritakan oleh orang tua atau guru ketika masih kanak-kanak, ternyata masih berpengaruh pada anak tersebut sampai dia menikah, dan bahkan mempunyai anak. Bahkan, dongeng atau cerita anak yang berjudul sama dengan inti yang sama mempunyai pengaruh yang berbeda bagi beberapa anak.
Bagaimana jadinya kalau dongeng atau cerita anak itu sengaja ditulis dan diceritakan kepada anak-anak? Pengaruh yang ditimbulkannya pasti akan dahsyat sekali. Penulis sengaja menggarisbawahi kata ‘sengaja’ karena dongeng-dongeng yang diceritakan kepada anak-anak hanya dongeng-dongeng yang mengandung nilai n-Ach (
the need for achievement – kebutuhan berprestasi) yang tinggi, yaitu: optimisme yang tinggi, keberanian untuk mengubah nasib, dan sikap tidak gampang menyerah.
Namum demikian, dalam konteks ini, menyangkut tiga hal yang menjadi ukuran tinggi-rendahnya nilai n-Ach—sebagaimana diandaikan McClelland—tidaklah bersifat mutlak, artinya tidak harus demikian persis, melainkan bisa disesuaikan dengan nilai-nilai moral-etik yang berkembang di dalam budaya kita, sesuai dengan kearifan lokal (local-wisdom) kita sendiri. Misalnya, sebagai bangsa Indonesia, kita bisa merasukkan sikap-sikap semacam: patriotis dan berani membela yang benar—sebagaimana tecermin dalam simbol bendera pusaka, solidaritas sosial—sebagaimana tersirat dari sila keadilan sosial dalam Pancasila, toleransi budaya—sebagaimana terekspresi dalam semangat “Bhineka Tunggal Ika”, berdisiplin (karena kita merasakan sendiri, bangsa Indonesia adalah bangsa yang mentoleransi keterlambatan dan tidak pernah datang tepat waktu), dan seterusnya.
Ditambah lagi, kalau dongeng-dongeng yang diceritakan pada anak-anak adalah dongeng-dongeng yang terkurikulum: sengaja ditulis, mengandung nilai n-Ach tinggi, dan didekasikan untuk anak-anak serta tidak hanya diceritakan oleh satu guru tapi oleh semua guru, penulis yakin, semakin dahsyatlah pengaruh dongeng itu terhadap anak-anak.
Hanya di ‘sekolah imajinasilah’ hal itu bisa terjadi. Mengapa hanya di sekolah imajinasi? Karena sekolah imajinasi mewajibkan guru untuk mendongeng kepada anak-anak sebelum mereka masuk ke topik yang akan dibicarakan. Atau, bisa saja dongeng yang diceritakan adalah dongeng yang berkaitan dengan topik yang kemudian dibahas.
Sebenarnya, mendongeng atau bercerita adalah salah satu metode dalam mengajar. Sayangnya, seperti yang kita rasakan sekarang, metode ini sudah semakin ditinggalkan. Ketika masuk kelas, guru mulai jarang bercerita atau mendongeng. Guru hanya menekankan pada materi yang harus mereka ajarkan dalam satu tahun pelajaran. Ada juga guru yang beralasan tidak bisa bercerita atau mendongeng.
Kedua alasan ini sebenarnya tidak bisa diterima karena sudah kewajiban guru untuk memberi bimbingan, pengajaran, dan pelatihan kepada anak-anak dam pemuda dalam perkembangan dan pembentukan kepribadiannya dengan jalan melengkapinya dengan norma-norma/nilai-nilai pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan oleh negara dan bangsa.
Melihat hal di atas, sekolah imajinasi adalah solusi nyata dari permasalahan tersebut. Di sekolah imajinasi inilah – alasan kekurangan waktu dan alasan tidak bisa bercerita atau mendongeng – tidak bisa diterima. Di sekolah ini, mendongeng atau bercerita menjadi sesuatu yang harus dilakukan sebelum pembelajaran dimulai. Kalau ada guru yang beralasan tidak bisa bercerita atau mendongeng, ini saatnya bagi guru tersebut untuk belajar lagi dengan begitu kemampuannya akan semakin meningkat. Kalau ada guru yang beralasan kekurangan waktu untuk mengajar materi pelajaran, ini saatnya bagi guru tersebut untuk menulis atau mencari dongeng atau cerita anak yang ada kaitannya dengan topik yang diajarkan. Di sekolah imajinasi tidak ada alasan bagi guru untuk tidak bercerita atau mendongeng.
Memang dongeng ini takkan terlihat dampaknya dalam hitungan satu atau dua tahun mendatang, tetapi – merujuk David McClelland – 25 tahun kemudian, cerita anak-anak yang mengandung nilai n-Ach yang tinggi pada suatu negeri selalu diikuti dengan adanya pertumbuhan yang tinggi dalam negeri itu. Dengan kata lain, jika sekolah imajinasi mulai diberlakukan tahun ini (dengan dongeng dan cerita anak lain yang terkurikulum dan mengandung nilai n-Ach yang tinggi), dalam 25 tahun yang akan datang tepatnya tahun 2033 terbentuklah generasi Indonesia yang mempunyai optimisme tinggi, berani mengubah nasib, tidak pantang menyerah, patriotis dan berani membela yang benar, mempunyai toleransi budaya dan nilai-nilai n-Ach lainnya yang sengaja disisipkan dalam dongeng-dongeng yang ditulis atau dibacakan atau diceritakan untuk anak-anak.
Jadi, jika sekarang ini, kita mempunyai generasi yang bermental KKN dari tingkat bawah sampai atas, dari orang biasa sampai pejabat negara, tak terlepas dari dongeng yang berkembang di masyarakat kita dari zaman dahulu bahkan sampai sekarang: Si Kancil Mencuri Timun (Kancil Nyolong Timun). Seperti yang terpapar jelas dalam dongeng itu, kancil begitu cerdik, licik, dan suka menipu. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya karakter anak-anak kita, jika mereka masih dibesarkan dengan dongeng di atas. Kita akan memiliki generasi yang sama seperti yang kita miliki sekarang.
Melihat paparan di atas, tidak ada alasan lain untuk tidak mengadakan ‘sekolah imajinasi’, sebuah sekolah seperti halnya sekolah sekarang ini, hanya saja mendongeng sebelum memulai pelajaran adalah hal yang harus dilakukan oleh semua guru yang mengajar di sekolah tersebut. Lewat dongeng-dongeng yang terkurikulum inilah, karakter anak Indonesia terbentuk dan pada akhirnya membentuk pula karakter bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Hernowo. 2005.
Mengimpikan Sekolah Imajinasi. Bandung: Penerbit MLC.
Hernowo. 2005.
Mengubah Sekolah. Bandung: Penerbit MLC.
http://lidahtinta.com
http://blogspa.wordpress.com
http://diniirawatitag.blogger.com
LPP Bina Insantama. …. Menjadi Pendidik Profesional. Yogyakarta: … .
Soenardi, R. Sabrur. 2003.
Teknik Menulis Cerita Anak. Yogyakarta: Penerbit Pinkbooks.
Tim Penyusun Kamus dan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1996.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
www.mediaindonesia.com
Ditulis untuk mengikuti lomba yang diadakan oleh
http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/lamanv42/