Essay

THE CHRONICLES OF NARNIA, THE LORD OF THE RINGS HINGGA HARRY POTTER

Ini tulisanku yang menjadi juara I lomba menulis essay yang diadakan oleh British Council. Happy Reading.

Inggris? Ketika mendengar nama itu yang terbayang di benakku adalah novel-novelnya, penulis-penulisnya, serta imajinasi-imajinasi liar yang berkembang dalam cerita novel-novel tersebut. Imajinasi-imajinasi yang membuat para pembaca pergi ke dunia luar nun jauh di sana, tak tertembus ruang dan waktu.

Bicara tentang karya sastranya, aku jadi teringat saat ujian skripsi dulu. Dosen pengujiku bertanya mengapa aku memilih kulias di Sastra Inggris. Aku dengan enteng menjawab,” I choose Faculty of Letters because of the English literature not the language.” Jadi, alasanku kuliah di Fakultas Sastra Inggris adalah karena sastra Inggris itu sendiri bukan karena bahasa Inggrisnya. Masalahnya banyak temanku yang kuliah di sini karena ingin mampu berbahasa Inggris dengan terampil dan benar. Tapi, aku memilih jurusan ini karena ingin mempelajari karya sastra yang berkembang di Inggris yang menurut David McCllelland  mengandung nilai-nilai the need for achievement yang luar biasa: optimisme yang tinggi, keberanian untuk mengubah nasib, dan sikap tidak gampang menyerah. Menurut McClelland pula, karya sastra yang berkembang di Inggrislah yang membuat Inggris menjadi sebuah negara seperti sekarang, dan meninggalkan Spanyol jauh di belakang.

Mengapa penulis memilih Spanyol sebagai perbandingan Inggris? Karena dalam penelitiannya itu, McClelland mengambil sampel Inggris dan Spanyol, dua negara raksasa di awal abad ke 16. Dalam perkembangan selanjutnya, Inggris menjadi negara maju, sementara Spanyol, sebaliknya, mengalami kemunduran yang mengenaskan. Mengapa terjadi begitu? Apa sebab yang mendasarinya?

Pertanyaan ini sangat mengusik McClelland. Seluruh semak telah disibak, rumput-rumput juga telah dipangkas, tetapi McClelland tidak menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Akhirnya dia melirik pada satu hal yang kurang diperhatikan orang: dongeng. Kelihatannya, kata McClelland, dongeng-dongeng yang berkembang di Inggris pada awal abad 16 mengandung semacam “virus” yang menyebabkan pendengarnya dijangkiti penyakit “butuh berprestasi”, the need for achievement—yang kemudian disimbolkan sebagai n-Ach yang sangat terkenal itu. Virus n-Ach itu, menurut McClelland, meliputi tiga unsur, yakni: optimisme yang tinggi, keberanian untuk mengubah nasib, dan sikap tidak gampang menyerah.
Tiga unsur ini tidak ada dalam dongeng-dongeng Spanyol di abad 16; muatan-muatannya lebih banyak meninabobokkan, “virus” n-Ach itu tidak ada sedikit pun. Dalam buku, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, karya Arief Budiman (Gramedia, 1995), dijelaskan lebih lanjut bahwa untuk meyakinkan dirinya atas penemuan tersebut, McClelland melakukan riset sejarah.

Ia mengumpulkan dokumen-dokumen sastra dari zaman Yunani kuno seperti puisi, naskah drama, pidato penguburan, surat para nahkoda kapal, kisah epik, dan lain sebagainya. Karya-karya tersebut dinilai oleh para ahli yang netral, apakah di dalamnya mengandung semangat n-Ach yang tinggi, atau sebaliknya, kurang, atau bahkan tidak ada sama sekali.

McClelland juga mengumpulkan lebih dari 1300 cerita/dongeng dari pelbagai negara, dari era 1925-1950an. Setelah dikaji dan diselidiki, hasilnya menunjukkan bahwa cerita-cerita anak yang mengandung nilai n-Ach yang tinggi pada suatu negeri, selalu diikuti dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula di negeri itu dalam kurun waktu 25 tahun kemudian.

    Selain itu, siapa orang yang tak mengenal C.S. Lewis dengan novelnya The Chronicles of Narnia, yang imajinasinya menembus luar batas manusia hingga sutradara pun kebingungan untuk memfilmkannya dan baru pada era digital sekarang inilah cerita itu bisa diangkat ke layar lebar. J.R.R Tolkien? Hmmm…penulis luar biasa yang imajinasinya tak kalah liarnya dengan C.S Lewis. Trilogi novelnya, The Lord of the Rings,  yang diangkat ke layar lebar disukai banyak orang dan menghasilkan jutaan dolar bagi rumah produksi yang memfilmkannya. Yang paling fenomenal tentu saja J.K. Rowling dengan Harry Potter-nya, mulai dari Harry Potter and the Sorcerer’s Stone sampai Harry Potter and the deathly Hollows.  Di seluruh dunia buku ini sudah laku ratusan juta kopi. Yang tentu saja menambah pundi-pundi kekayaan J.K. Rowling. Belum lagi filmnya yang selalu ditunggu para penggemar bukunya. Cerita penyihir yang mendunia, melegenda ini membuat penulisnya memiliki kekayaan luar biasa. Konon kabarnya, kekayaannya bahkan mengalahkan kekayaan Ratu Inggris, Elizabeth II.

    Belum lagi penulis-penulis besar lain seperti Jane Austen dengan Sense and Sensebility-nya, Thomas Hardy dengan Tess of the D’Ubervilles. Kedua novel itu mengisahkan perjuangan seorang wanita dalam mencapai cinta sejatinya. Untuk penulis anak, Enid Blyton adalah penulis luar biasa yang menginspirasi banyak orang untuk menjadi penulis anak seperti dirinya.

    Karya sastra yang dihasilkan para penulisnya inilah yang membuatku memilih Inggris sebagai tempat kuliah S2-ku. Rasanya pasti luar biasa sekali bisa kuliah di negara penghasil penulis besar dunia dimana karya-karya mereka tak hanya mempengaruhi rakyatnya hingga menjadi manusia-manusia yang luar biasa tapi juga mempengaruhi rakyat-rakyat dari negara lain yang jauh dari Inggris karena rata-rata karya-karya itu telah diterjemahkan di banyak negara yang ada di dunia. Leeds University adalah tujuanku. Alasannya sederhana saja mengapa aku pilih universitas ini karena dosenku yang killer luar biasa tapi pintarnya setengah mati mengambil S2 di universitas ini.